Publish Yourself!

2007/11/04

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Juxtapose: Siapapun Bisa Menulis Buku!

—Fahd Djibran
Penulis, Editorial Board Penerbit Juxtapose | fahdisme@yahoo.co.id.



“Menerbitkan buku itu susah!” inilah mitos yang berlaku di masyarakat kita. Ketika mitos ini berusaha diruntuhkan, mitos lainnya menggejala, “menembus dunia penerbitan itu susah!”

Ihwal pandangan masyarakat kita tentang hal ini, saya punya kisah menarik.

Suatu sore seorang teman memperkenalkan saya dengan seorang teman perempuannya, “Fahd, teman saya mau ngobrol soal penerbitan buku”, teman saya mengawali, “selama ini dia sudah menyelesaikan empat buah novel, tapi belum ada satu pun yang diterbitkan”. Saya terkejut, luar biasa sekali sudah menyelesaikan empat buah novel. Tapi sayang tak ada satu pun yang berhasil diterbitkan.
Menulis empat buah novel tentu saja bukan perkara mudah. Dewi Lestari butuh waktu lebih dari dua tahun untuk menyelesaikan Supernova dan novel Yusuf Gigan Lokatmala Cinta belum juga selesai meski sudah digarap sejak empat tahun yang lalu. Tetapi, orang yang kini duduk di hadapan saya sungguh memiliki gairah menulis yang sangat luar biasa. Sudah empat buah novel diselesaikan dan sebuah novel sedang dalam pengerjaan! Sayang sekali belum ada satu pun yang diterbitkan.
Perempuan hebat penulis empat buah novel itu adalah mahasiswi jurusan komunikasi UMY. Mungkin Anda mengenalnya. Lantas sore itu saya mengobrol cukup banyak tentang penerbitan buku; dari mulai proses re-writing agar sesuai dengan selera penerbit tertentu, rencana penawaran naskah, jalur distribusi dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan naskah buku dan proses penerbitannya.
Obrolan berakhir, dan kami pun berpisah setelah saya janjikan keesokan harinya akan saya berikan contoh penawaran naskah kepada penerbit dan sebuah kemungkinan agar naskahnya bisa diterbitkan di salah satu penerbit yang saya kenal.
Sayang sekali saya dan penulis hebat itu tidak pernah mengobrol lagi setelah saya berikan apa yang saya janjikan. Kini saya tidak tahu bagaimana nasib naskah-naskah novelnya; apakah sudah terbit, atau masih menumpuk di lemari pribadi dan belum bisa dibaca banyak orang? Saya tidak tahu. Tetapi saya menyesal ketika itu tak membantunya secara maksimal sampai naskahnya benar-benar terbit.
Di waktu yang lain, saya bertemu Nizar. Kali ini mahasiswa HI. Saya menangkap gairah menulis yang sama besar seperti yang pernah saya temukan pada perempuan penulis empat buah novel. Nizar menulis banyak sekali cerpen, puisi, solulikui, dan apapun yang bisa dia tuliskan, tetapi sayang sekali tak ada satu buku pun yang berani ia tulis. Maka saya yakinkan dia untuk menulis buku.
Caranya, dia hanya tinggal mengumpulkan tulisan-tulisan terbaiknya untuk dikemas menjadi sebuah buku, dan dia setuju. Maka, dimulailah proses penciptaan magnum opus (karya besar) milik Nizar itu…
Kini buku yang ditulis Nizar sudah terbit. Judulnya Ziarah Ingatan. Diterbitkan secara independen oleh sebuah project penerbitan bernama Prophetic Freedom. Meskipun diterbitkan secara independen oleh project penerbitan indie, sebuah buku tetaplah sebuah karya, sebuah magnum opus yang patut dihargai dan diapresiasi. Demikian juga Ziarah Ingatan yang ditulis Nizar, ia tetap menjadi sebuah buku yang layak baca dan punya pembaca tersendiri. Salah satu pembaca buku Nizar, Farah el-Qolby, mahasiawa Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung, memberikan pujian yang cukup menarik buat buku Nizar, “yang membuat Nizar luar biasa adalah ia berani menuliskan sesuatu yang sangat personal—sesuatu yang biasanya tak sempat untuk dituliskan”.
Ya, yang terpenting dari sebuah buku adalah bahwa ia telah dituliskan dan mewujud menjadi karya. Tidak hanya angan-angan, terlepas diterbitkan oleh penerbit kapital atau penerbit independen sekalipun. Bukankah keberanian untuk melempar gagasan personal ke ruang public adalah keberanian yang sedikit sekali dimiliki masyarakat kita?
Dunia penerbitan independen memang belum terlalu ramai di Indonesia. Meskipun wacana menengenai self-publishing sebenarnya sudah mencuat cukup lama. Penerbitan buku independen (indie book) bukanlah penerbitan massal. Buku indie mungkin hanya dicetak puluhan eksamplar, didistribusikan melalui sistem POD (Print on Demand) kepada kawan atau kerabat, tidak punya ISBN, dan didiskusikan di forum-forum kecil. Namun ia tetaplah sebuah buku, tetaplah sebuah karya yang sudah layak untuk diapresiasi bersama.
Buku pertama saya berjudul Kucing adalah buku yang diterbitkan secara independen, tetapi ia tetap setara dengan buku-buku lainnya yang saya terbitkan di penerbit kapital sekelas Mizan, Universitas Indonesia Press, atau lainnya. Bahkan, Kucing ternyata menjadi buku saya yang paling banyak dibicarakan orang karena ia “seksi" (kata orang buku indie selalu lebih seksi dibanding buku yang diterbitkan di penerbit major) Bila mengambil contoh lain, Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh milik Dewi Lestari juga diterbitkan secara independen oleh truedeebook, tetapi justru menjadi buku paling dibicarakan banyak orang daripada sekuel Supernova yang lainnya yang diterbitkan di Grasindo—yang penerbit major.
Dunia penerbitan indie memang menarik untuk dilirik ketika penerbit-penerbit major sulit ditembus penulis pemula atau begitu menjengkelkan dalam memperlakukan naskah-naskah setiap penulisnya yang sudah lama sekalipun. Dalam penerbitan indie, siapapun bisa menerbitkan bukunya. Bebas asal bertanggung jawab. Dan, tidak usah muncul kekhawatiran “takut tidak sesuai dengan selera pasar atau takut tak dapat lingkaran pembaca”, karena buku indie lebih menonjolkan sisi personal penulisnya, sebagai sebuah refleksi bahwa buku itu adalah magnum opus (karya besar) penulisnya.
Tetapi seseksi apapun buku indie, ia tetaplah memiliki sejumlah keterbatasan. Distribusi dan capital return terutama. Dalam soal distribusi, buku-buku indie tentu hanya jadi konsumsi kalangan terbatas; teman, saudara, kolega. Capital return pun jadi masalah tersendiri, sebab tak jarang uang yang dipakai sebagai modal penerbitan tak kembali dengan hasil penjualan yang menggembirakan. Di samping itu pengakuan terhadap buku indie pun masih terbatas, mengingat buku jenis ini tidak disertai ISBN yang menjadi legalitas sebuah buku diakui khalayak banyak dan terdaftar di badan hak cipta dan kekayaan intelektual negara.
Di tengah persimpangan dilematis menerbitkan buku secara independen yang risakan dan menembus penerbit major yang sulit itulah Juxtapose hadir. Sebagai sebuah penerbitan berbasis krativitas (creative publishing), Juxtapose berusaha meyakinkan setiap orang untuk berani mempublikasikan gagasanyna. Sejumlah soal yang mengganggu tadi—ISBN, modal, distriubusi dan lainnya—akan kami buktikan bukanlah masalah besar. Bahkan, bukan masalah sama sekali. Sebab di Juxtapose: kita akan duduk bersama, minum kopi sambil membicarakan gagasan Anda; dari mengemas gagasan itu menjadi layak dikonsumsi publik, strategi pemasaran, distribusi, sampai gagasan itu benar-benar menjadi sebuah buku yang printed!
Jadi, bolehlah saya yakinkah Anda semua. Jika Anda punya sebundel naskah buku di tangan Anda dan mengeluh, “saya ingin menerbitkan naskah saya, tapi saya malu. Ragu dan gamang. Apakah buku saya layak diterbitkan? Bila layak, saya masih tetap risau; apakah penerbit-penerbit itu akan memperlakukan buku saya sebagai karya hasil ikhtiar yang tidak sembarang?”, berhentilah mengeluh. Mulailah berpikir kreatif, mulailah untuk berpikir bahwa naskah Anda sangat mungkin diterbitkan sebagai buku yang menarik. Tak usah risau masalah distribusi, ISBN, atau tetek bengek lainnya. Yang terpenting adalah ide dan hasil tulisan Anda bisa mewujud menjadi buku sesungguhnya yang bisa dibaca banyak orang dan diapresiasi banyak orang!
Saya tidak ingin mengulangi kesalahan saya pada perempuan penulis empat buah novel itu. Maka saya mencoba mengajak setiap orang untuk menerbitkan buku atau tulisan lain dalam bentuk apapun menjadi sebuah buku. Di Juxtapose, kita akan membantu mewujudkannya!
Sebab, berawal dari sejumlah intelektual dan creator-krator muda yang memiliki visi dan gagasan yang sama, atas inisiasi luar biasa dari Mas Abdullah Sumrahadi dan Mbak Dewi N.M. Sumrahadi, Juxtapose hadir untuk menjawab seluruh kegelisahan itu. Kami siap berkolaborasi dengan Anda untuk mewujudkan gagasan dan mimpi-mimpi Anda menjadi karya nyata. Jika Anda memiliki gagasan yang sudah lama terpendam karena keterbatasan media, kemampuan, ruang atau publikasi. Anda bisa menghubungi Juxtapose di www.juxtacorp.co.nr atau “curhat” ke juxtapose@indosat.net.id. Mari wujudkan mimpi-mimpi itu bersama!

Sore ini saya bertemu seseorang yang berusaha menemui saya, di tangannya ada sebundel naskah, isinya catatan-catatan refleksinya terhadap realitas kesehariannya. Ia berdiri tegak menatap saya, “…saya ingin menerbitkannya. Saya ingin punya buku. Saya ingin punya karya nyata!”

Aktifitas Bisnis (3)

2007/09/26

LEADERSHIP CONSLULTANT
Strategi pengenalan seorang kandidat pempimpin Pemerintahan atau eksekutif bisnis, dalam abad ini sudah tidak dapat lagi hanya dibatasi melalui kampanye ataupun propaganda massa melalui iklan, bakti sosial apalagi "money politics". Lebih jauh dari itu, agar kandidat dapat dikenal dan meninggalkan kesan baik di level pemilih atau masyarakat, sudah tentu membutuhkan pendekatan yang unik dan berbeda-beda. Hal ini didasarkan pada perbedaan karakter pribadi kandidat beserta kelebihannya, dengan perbedaan pemilih dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya pula.
Untuk sekedar menang menjadi pemimpin, itu soal mudah! Tapi bagaimana kandidat itu bisa terpilih dan dikenang dalam hati pemilih, masyarakat dan atau warga dalam skope besar atau karyawan (mitra kerja), itu merupakan hal utama dan sangat penting! Itu dibutuhkan perahan energi pikir dan strategi pengembangan maupun paket-paket khusus.
Juxtapose Korporasidea dalam kapasitasnya, akan mampu membantu memberikan paket-paket yang dibutuhkan oleh kandidat tadi. Paket ini tentu tidak sekedar jualan kacang, tetapi dari paket ini akan saling dapat merawat potensi-potensinya.
Untuk membutuhkan layanan ini, Anda tinggal telepon atau mengirim minat Anda ke email perusahaan kami. Silahkan mencoba.